Senin, 24 Januari 2011

Awas, RI Terancam Darurat Pangan!


Jakarta - Indonesia tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Lirik lagu Koes Plus era 80-an itu, tak lagi relevan dengan kondisi saat ini. RI menghadapi ancaman darurat pangan!

Peringatan itu datang dari Guru Besar Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Didin S Damanhuri. Menurutnya, jika tidak mengimpor beras, Indonesia mengalami darurat pangan. Sebab, produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi konsumsi 230 juta penduduk.


Tapi, imbuhnya, karena masih ada beberapa negara yang mengekspor pangan ke RI, saat ini belum darurat. “Dari sisi stok, RI belum mengalami darurat pangan meski gagal panen. RI masih tertolong impor,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Jumat (21/1).

Masalahnya, lanjut Didin, cuaca ekstrim saat ini terjadi di seluruh dunia sehingga negara-negara lain di pasar dunia rame-rame ingin memenuhi kebutuhan dalam negerinya. “Karena itu, negara seperti China yang merupakan potential eksport, sekarang menahan diri untuk mencukupi negaranya,” ujar Didin.

Akibatnya, pada saat RI ingin mengimpor pun, komoditas pangan tidak tersedia di pasar dunia. Padahal, RI sudah membebaskan bea masuk impor beras dan komoditas pangan lainnya.

Seperti diketahui, pemerintah sudah membebaskan bea masuk atas 57 pos tarif komoditas pangan, bahan baku pakan ternak dan pupuk selama satu tahun. 57 pos tarif itu tertuang dalam 2.165 pos tarif yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No 241/2010 yang merupakan antisipasi terhadap ancaman krisis pangan.

Menyikapi ancaman tersebut, pemerintah juga menargetkan peningkatan produksi beras pada 2011 sebesar 5% dari 2010 atau 70,01 juta ton gabah kering giling (GKG) yang setara dengan beras 43,93 juta ton.

Sementara target pengadaan beras dalam negeri atau penguatan cadangan beras pemerintah (CBD) sebanyak 3,5 juta ton yang dikelola Badan Urusan Logistik (Bulog). Sebelumnya, Kementerian Pertanian menetapkan produksi GKG sebanyak 68,8 juta ton atau setara beras 38,9 juta ton di 2011.

Kondisi itu, kembali Didin mengatakan, harus dijadikan redefinisi mengenai kedaulatan pangan di masa depan. Untuk jangka pendek, pemerintah masih bisa ditolelir mengimpor beras dengan membebaskan bea masuk. “Tujuannya, agar tidak terjadi defisit seperti kelaparan di berbagai daerah,” paparnya.

Tapi, dia mengingatkan, jika ketergantungan impor tidak mengalami perubahan mendasar, darurat pangan bukan mustahil terjadi. “Sebab, kebutuhan pangan dalam negeri terpenuhi hanya karena pemerintah melakukan impor,” timpalnya.

Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan tidak melihat adanya upaya revitalisasi pertanian dan penguatan petani. Pemerintah sudah kecanduan impor termasuk mengatasi persoalan inflasi. Padahal, sudah ada 24 item pangan yang sudah dibebaskan bea masuknya sehingga semakin jauh dari konsep kedaulatan pangan.

Menurutnya, sektor pertanian merupakan tempat bergumulnya pengangguran dan orang miskin. Absennya revitalisasi pertanian, menggagalkan upaya pengetasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan penciptaan kesejahteraan. “Pak SBY boleh bangga dengan pertumbuhan 5,8% di semester I/2010, tapi siapa yang menikmati,” tukasnya lagi.

Dari sisi pangan, RI mundur. Yang semula tidak mengimpor sekarang melakukannya. Kebijakan sembako (9 bahan pokok) di era Presiden Soeharto, tinggal 4 bahan pokok saja di era SBY sehingga terjadi penurunan kualitas hidup. “Sebab, pemerintah cuci tangan dalam hal bahan pokok dan dilepas begitu saja ke pasar,” ungkapnya.

Tingkat ketergantungan pada impor sangat tinggi, RI dipastikan mengalami darurat pangan. “Jangan bangga dengan semakin terbukanya pasar karena memukul produsen dalam negeri,” kata Eva Sundari mengingatkan.

source

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post